أعوذبالله من الشيطان الرجيم بسم الله الرحمن الرحيم
AL-KINDIَ
- Riwayat Hidup Al-Kindi
Nama al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi asal cikal-bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu kindah adalah suku keturunan kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang.
Nama lengkap al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’kub bin Ishaq ash-Shabbah bin ‘Imran bin al-Asy’ats bin Qays al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H. ayahnya, Ishaq ash-Sabbah, adalah gubernur Kuffah pada masa pemerintahan al-Mahdi dan Harun al-Rasyid dari Bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah al-Kindi lahir. Dengan demikian al-Kindi dibesarkan dalam keadaan yatim.
Memperhatikan tahun lahirnya, dapat diketahui bahwa al-Kindi hidup pada masa keemasan kekuasaan Bani Abbas. Pada masa kecilnya, al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan Khalifah Harun al-Rasyid yang terkenal sangat memperhatikan dan mendorong perkembangan ilmu pengetahuan bagi kuam muslim. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan bagi kaum muslim. Pada masa pemerintahannya, Baghdad menjadi pusat perdagangan sekaligus pusat ilmu pengetahuan. Al-Rasyid mendirikan semacam akademi atau lembaga, tempat pertemuan para ilmuan yang disebut Bait al-Hikmah (balai ilmu pengetahuan), al-Rasyid wafat pada tahun 193 H (809 M) ketika al-Kindi masih berumur 9 tahun. Sepeninggal al-Rasyid, putranya, al-Amin menggantikan sebagai Khalifah, tetapi pada masanya tidak tercatat ada usaha-usaha untuk mengembangkan lebih lanjut ilmu pengetahuan yang telah dirintis dengan mengembangkan usaha susah oleh ayahnya. Al-Amin wafat pada tahun 198 H (813 M), kemudian digantikan oleh saudaranya al-Makmun. Pada masa pemerintahan al-Makmun (198-228 H) perkembangan ilmu pengetahuan amat pesat. Fungsi bayt al-hikmah lebih ditingkatkan, sehingga pada masanya berhasil dipertemukan antara ilmu-ilmu keislaman dengan ilmu-ilmu asing, khususnya dari Yunani. Pada masa ini juga dilakukan penerjemahan besar-besaran kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, sehingga perkembangan ilmu pengetahuan di kalangan kaum muslim sangat pesat karena memperoleh kesempatan untuk mengembangkan diri. Dan pada waktu inilah al-Kindi muncul sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan ia memberi komentar terhadap pikiran-pikiran pada fiolosof Yunani.
Al-Kindi yang dilahirkan di Kuffah pada masa kecilnya memperoleh pendidikan di Bashrah. Tentang siapa guru-gurunya tidak dikenal, karena tidak terekam dalam sejarah hidupnya. Tetapi dapat dipastikan ia mempelajari ilmu-ilmu sesuai dengan kurikulum pada masanya. Ia mempelajari al-Qur’an, membaca, menulis dan berhitung. Setelah menyelesaikan pelajaran dasarnya di Bashrah, ia melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, ia mahir sekali dalam berbagai macam cabang ilmu yang ada pada waktu itu, seperti ilmu ketabiban (kedokteran), filsafat, ilmu hitung, manthiq (logika), geometri, astronomi, dan lain-lain. Pendeknya ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani juga ia pelajari, dan sekurang-kurangnya salah satu bahasa yang menjadi bahasa ilmu pengetahuan dikala itu ia kuasai dengan baik yaitu bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Suryani inilah al-Kindi menerjemahkannya ke dalam bahasa Arab.
Nama al-Kindi menanjak setelah hidup di istana pada masa pemerintahan al-Mu’tasim yang menggantikan al-Makmun pada tahun 218 H (833 M) karena pada waktu itu al-Kindi dipercaya pihak istanan menjadi guru pribadi pendidik puteranya, yaitu Ahmad bin Mu’tashim. Pada masa inilah al-Kindi berkesempatan menulis karya-karyanya, setelah pada masa al-Makmun menerjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.
َ
- Karya-karya Al-Kindi
Karya ilmiah al-Kindi kebanyakan hanya berupa makalah-makalah, tetapi jumlahnya amat banyak, Ibnu Nadim, dalam kitabnya al-Fihrits, menyebutkan lebih dari 230 buah. George N. Atiyeh menyebutkan judul-judul makalah dan kitab-kitab karangan al-Kindi sebanyak 270 buah. Dalam bidang filsafat, karangan al-Kindi pernah diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah (1950) dengan judul Rasail al-Kindi al-Falasifah (makalah-makalah filsafat al-Kindi), yang berisi 29 makalah. Prof. Ahmad Fuad al-Ahwani pernah menerbitkan makalah al-Kindi tentang filsafat pertamanya dengan judul kitab al-Kindi ila al-Mu’tashim billah fi al-falsafah al-ula (Surat al-Kindi kepada mu’tasim billah tentang filsafat pertama).
Karangan-karangan al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Masalah-masalah filsafat yang ia bahas mencakup epistemologi, metafisika, etika, dan sebagainya. Sebagaimana halnya para penganut aliran Phytagoras, al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa berfilsafat dengan baik.
Dari karangan-karangannya dapat diketahui bahwa al-Kindi adalah penganut aliran eklektisisme, dalam metafisika dan kosmologi ia mengambil pendapat-pendapat Aristoteles, dalam psikologi ia mengambil pendapat-pendapat Socrates dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian al-Kindi sebagai filosof muslim tetap bertahan.
Sebagai seorang filosof yang memplopori mempertemukan agama dan filsafat Yunani, al-Kindi banyak menghadapi tantangan para ahli agama. Ia dituduh meremehkan dan membodoh-bodohkan ualama yang tidak mengetahui filsafat Yunani. Usaha menjauhkan al-Kindi dari Khalifah Mu’tashim dengan berbagai macam dalih sering dilakukan oleh orang-orang yang tidak senang kepadanya. Fitnah-fitnah yang ditunjukkan kepadanya semakin deras dan keras, terutama sekali ketika pemerintahan dikendalikan oleh Mutawakkil. Akhirnya al-Kindi menyingkir dari kemelut yang sudah berdimensi politis ini, hingga pada masa pemerintahan al-Musta’im Billah yang menjadi korban fitnah dan wafat pada tahun 252 H (866 M) ia meninggal di Baghdad dalam tahun yang sama.
َ
- Definisi Filsafat al-Kindi
Al-Kindi menyajikan banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang menjadi miliknya. Yang disajikan adalah definisi-definisi dari filsafat terdahulu, itu pun tanpa menegaskan dari siapa diperolehnya. Mungkin dengan menyebut berbagai macam definisi itu dimaksudkan bahwa pengertian yang sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang ada, tidak hanya pada salah satunya. Hal ini berarti bagi al-Kindi, bahwa untuk memperoleh pengertian lengkap tentang apa filsafat itu harus memperhatikan semua unsur yang terdapat dalam semua definisi tentang filsafat. Definisi-definisi al-Kindi sebagai berikut:
1) Filsafat terdiri dari gabungan dua kata, philo, sahabat dan sophia, kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta kepada kebijaksanaan. Definisi ini berdasar atas etimologi Yunani dari kata-kata itu.
2) Filsafat adalah upaya manusia meneladani perbuatan-perbuatan tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia. Definisi ini merupakan definisi fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi tingkah laku manusia.
3) Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang dimaksud dengan mati adalah bercerainya jiwa dari badan. Atau mematikan hawa nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya, banyak orang bijak terdahulu yang mengatakan bahwa kenikmatan adalah suatu kejahatan. Definisi ini juga merupakan definisi fungsional, yang bertitik tolak pada segi tingkah laku manusia pula.
4) Filsafat adalah pengetahuan dari segala pengetahuan dan kebijaksanaan dari segala kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi kausa.
5) Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang dirinya. Definisi ini menitikberatkan pada fungsi filsafat sebagai upaya manusia untuk mengenal dirinya sendiri.
6) Filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitik beratkan dari sudut pandang materinya.
َ
Dari beberapa definisi yang amat beragam di atas, tampaknya al-Kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu sebagai upaya mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-Kindi, filosof adalah orang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi di samping itu juga merupakan aktualisasi atau pengalaman dari kebenaran itu. Filosof yang sejati adalah yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan mengamalkan kebijaksanaan itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep al-Kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran Stoa. Tujuan terkahir adalah dalam hubungannya dengan moralita.
Al-Kindi menegaskan juga bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa daripada semua kebenaran, yaitu filsafat pertama. Filosof yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki pengetahuan tentang yang paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa (‘illat) lebih utama dari pengetahuan tentang akibat (ma’ul, effact). Orang akan mengetahui tentang realitas secara sempurna jika mengetahui pula yang menjadi kausanya.
َ
- Epistemologi
Al-Kindi menyebutkan adanya tiga macam pengetahuan manusia, yaitu:
Ø Pengetahuan inderawi
Ø Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal yang disebut pengetahuan rasional
Ø Pengetahuan yang diperoleh langsung dari tuhan yang disebut pengetahuan isyraqi atau iluminatif.
َ
1 Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi langsung ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material, kemudian dalam proses tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya berpindah ke imajinasi (musyawwirah), diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafiɺhah (recollection). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini tidak tetap, karena obeyke yang diamati pun tidak tetap, selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya.
Pengetahuan inderawi ini tidak memberi gambaran tentang hakikat sesuatu realitas. Pengetahuan inderawi selalu berwatak dan bersifat parsial. Pengetahuan inderawi amat dekat kepada penginderaannya, tetapi amat jauh dari pemberian gambaran tentang alam pada hakikatnya.
2 Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan jalan menggunakan akal bersiafat universal, tidak persial, dan bersifat immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu; tetapi genus dan spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki, pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini akan menghasilkan pengetahuan inderawi. Tetapi orang yang mangamati manusia, menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah makhluk berfikir (rational animal = hayawan nathiq), telah memperoleh pengetahuan rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar yang terlukis dalam perasaan.
3 Pengetahuan Isyraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi saja tidak akan sampai pada pengetahuan hakiki tentang hakikat-hakikat. Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies. Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan ini. Al-Kindi, sebagaimana halnya banak filosof isyraqi, mengingatkan adanya jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi), yaitu pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan ini ialah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal dari wahyu Tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semata-mata. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangakan Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu. Pengetahuan dengan jalan wahyu ini merupakan kekhususan bagi para Nabi yang membedakan dengan manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang di luar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan ketundukan kepada kehendak tuhan, membenarkan semua yang dibawakan para Nabi.
َ
- Metafisika
Sebagaimana telah disebutkan di muka, al-Kindi mengatakan bahwa filsafat yang tertinggi martabatnya adalah filsafat pertama yang membicarakan tentang Causa Prima. Filsafat metafisika al-Kindi ditulis dalam beberapa makalahnya, khususnya dalam dua makalah, yaitu tentang filsafat pertama dan tentang ke-Esa-an Tuhan dan berakhirnya alam. Dalam dua makalah ini al-Kindi membahas dengan panjang lebar tentang hakikat Tuhan.
ِ
- Etika
Di muka telah disebutkan beberapa definisi filsafat yang disajikan al-Kindi tanpa menyebutkan dari mana asalnya. Filsafat adalah upaya meneladani perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan manusia. Yang dimaksud dengan definisi ini ialah agar manusia memiliki keutamaan yang sempurna. Filsafat diberikan definisi juga sebagai latihan untuk mati. Yang dimaksud ialah mematikan hawa nafsu. Mematikan hawa nafsu adalah jalan untuk memperoleh keutamaan. Kenikmatan hidup lahiriah adalah keburukan. Bekerja untuk memperoleh kenikmatan lahiriah berarti meninggalkan penggunaan akal.
Pernyataan yang dapat diajukan ialah bagaimana cara untuk menjadi manusia yang memiliki keutamaan yang sempurna itu. Bagaimana cara untuk mematikan hafa nafsu agar mencapai keutamaan itu. Jawaban pertanyaan ini ialah: ketahuilah keutamaan itu dan bertingkah lakulah sesuai tuntutan keutamaan itu.
Al-Kindi berpendapat bahwa keutamaan manusiawi tidak lain adalah budi pekerti manusiawi yang terpuji. Keutamaan-keutamaan ini kemudian dibagi menjadi tiga bagian. Pertama merupakan asas dalam jiwa, tetapi bukan asas yang negatif, yaitu pengetahuan dan perbuatan (ilmu dan amal). Bagian ini dibagi menjadi tiga pula, yaitu kebijaksanaan (hikmah), keberanian (saja’ah), dan kesucian (‘iffah). Kebijaksanaan adalah keutamaan daya berfikir, yang dapat berupa kebijaksanaan teoritis dan kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan teoritis ialah mengetahui segala sesuatu yang bersifat universal secara hakiki; dan kebijaksanaan praktis ialah menggunakan kenyataan-kenyataan yang wajib dipergunakan. Keberanian merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa yang memandang ringan kepada kematian untuk mencapai dan menolak sesuatu yang harus ditolak. Kesucian adalah memperoleh sesuatu yang memang harus diperoleh guna mendidik dan memelihara badan serta menahan diri yang tidak diperlukan untuk itu.
Keutamaan kejiwaan tiga macam itu merupakan benteng keutamaan pada umumnya yang menjadi batas yang memisahkan antara keutamaan dan kenistaan. Dengan kata lain, tiga macam keutamaan itu merupakan induk dari keutamaan-keutamaan lainnya. Oleh karenanya, berkelebihan atau berkurang dari tiga macam keutamaan itu terhitung kenistaan. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa keutamaan itu ialah tengah-tengah antara dua ujung yang ekstrim, melampaui batas dan kurang dari semestinya; dan kenistaan adalah salah satu dari dua ujung itu, melampaui batas atau kurang dari semestinya. Kenistaan adalah keluar dari keadaan menengah, baik secara positif maupun negatif.
Sumber: َ
Mustofa, A. 1987. Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia.